Menelusuri Jejak Kartini: Inspirasi Emansipasi dan Pendidikan bagi Perempuan Indonesia

rapat-koordinasi-kehumasan-di-lingkungan
02-Mei-2024, 16:20
Oleh : Jona

Hari Raya Kartini - sebuah momen yang dirayakan setiap tanggal 21 April setiap tahunnya. Hari raya ini tentunya dilambangkan dengan upacara pakaian adat kebaya bagi para wanita. Namun, setiap insan mempunyai cara uniknya masing-masing dalam menjalani dan merayakan hari raya tersebut. Sebagai pencetus Hari Raya Kartini, R.A Kartini sendiri telah menempuh berbagai upaya sehingga dapat terciptanya hari yang revolusioner ini.

R.A Kartini merupakan anak dari bupati Jepara. Beliau lahir pada tanggal 21 April 1879 di desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, yang pada saat itu merupakan bagian dari Hindia Belanda. Status R.A Kartini yang pada saat itu merupakan anak bupati telah memberikan kesempatan bagi beliau untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Dasar Belanda di Batavia, yang dikenal sebagai Europeesche Lagere School (ELS). Namun, karena status sebagai seorang pribumi, Kartini hanya mampu menempuh pendidikan seadanya seperti pribumi lainnya.

Karena adanya limitasi pendidikan yang diterapkan Belanda kepada rakyat pribumi, Kartini merasa prihatin dengan ketidakadilan sosial dan pendidikan yang dihadapi oleh perempuan Jawa pada masa itu. Beliau mulai menyatakan gagasan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan dan kebebasan berpikir maupun bertindak untuk mereka. Namun, ayah dari Kartini tetap berpegang teguh terhadap larangannya kepada Kartini untuk menempuh pendidikan lanjut dan memberikan sarana belajar bagi warga pribumi.

Dibalik perjuangan Kartini, beliau tidak diperbolehkan keluar rumah oleh ayahnya. Namun hal tersebut tidak membuat beliau gentar, karena kepiawaian dan kecerdasannya, Kartini mempunyai rekor akademik yang tinggi serta kemampuan berbahasa Belanda yang baik dengan cara otodidak. Hal tersebut membuat Kartini mampu merealisasikan mimpinya untuk kesetaraan, terutama bagi para wanita di Indonesia.

Dengan batasan yang diberikan pada rakyat pribumi dan juga dirinya sendiri, semangat Kartini untuk memperjuangkan rakyat pribumi menjadi terbangkit, terutama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Jepara adalah langkah awal pertama Kartini untuk memulai revolusi kesetaraan bagi rakyat pribumi. Beliau membangun sekolah putri pertama untuk mengajarkan keahlian menjahit, menyulam dan memasak.

Meskipun Kartini tidak mendapat pendidikan formal yang mumpuni, beliau memiliki akses pada buku, teks dan literatur yang membekali beliau wawasan luas. Dengan ini, Kartini juga dapat memulai mengajarkan cara membaca, menulis dan menghitung bagi para rakyat pribumi, yang dimana pada masa tersebut, norma sosial menghambat perempuan untuk mendapatkan pendidikan formal yang setara dengan laki-laki.

Salah satu fokus utama Kartini adalah memberikan akses pendidikan yang setara bagi perempuan. Beliau percaya bahwa dengan pendidikan, perempuan bisa membebaskan diri dari keterbatasan dan meningkatkan status serta kontribusi mereka dalam masyarakat. Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan di desanya dan aktif mengkampanyekan hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan.

Tidak mudah bagi Kartini memperjuangkan perempuan Indonesia pada masanya. Dirinya menghadapi berbagai kendala, seperti norma-norma sosial dan budaya yang cukup konservatif. Perempuan dianggap hanya cocok untuk peran domestik dan diharapkan untuk mengabdikan diri kepada keluarga. Pada masa itu pendidikan formal tidak secara luar tersedia bagi perempuan. Sekolah pada umumnya hanya menerima anak laki-laki, sedangkan perempuan dianggap tidak perlu atau tidak layak untuk menerima pendidikan yang sama. Hal ini mempersulit Kartini dalam membuka jalan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keterbatasan sumber daya juga menjadi kendala, baik dalam mendirikan sekolah maupun dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai. Pada masa itu, Indonesia masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Penindasan dan kontrol kolonial juga memperburuk kondisi pendidikan bagi perempuan. Kartini harus melakukan resistensi tidak hanya terkait norma-norma sosial dan budaya lokal, tetapi juga sistem penjajahan yang menekan kebebasan dan hak-hak masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak perempuan.

R.A. Kartini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Indonesia, diantaranya beberapa anggota keluarga Kartini dan Gerakan Emansipasi Perempuan Internasional beserta sahabat-sahabatnya. Dukungan dari berbagai pihak ini memainkan peran penting dalam memperkuat perjuangan Kartini dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan kesetaraan gender.

Salah satu sahabat Kartini yang juga memainkan peran penting dalam memperjuangkan pendidikan perempuan Indonesia saat itu ialah Estella Zeehandelaar dan Jacques Henrij Abendanon. Melalui majalah Belanda, De Hollandsche Lelie, Kartini membuat iklan atas keinginannya mencari sosok teman perempuan untuk dapat saling surat menyurat. Beliau bertujuan untuk mengetahui banyak hal tentang pergerakan perempuan di Eropa, terutama mengenai sikap dan gagasan-gagasan perempuan di sana. Hingga akhirnya iklan tersebut mendapatkan respon dari Stella di tahun 1899. Sejak saat itu, Kartini dan Stella sering berkirim surat dan saling bertukar pikiran serta gagasan tentang emansipasi perempuan dan pendidikan. Di sisi lain, Jacques Henrij Abendanon dan Kartini juga saling berbagi pandangan tentang pendidikan, emansipasi perempuan, dan isu-isu sosial lainnya. Pada awalnya, Abendanon ditugaskan Kerajaan Belanda dengan berbagai misi. Salah satu fokusnya saat itu adalah pendidikan perempuan. Dari pertemuannya dengan Kartini, Abendanon tampaknya yakin bahwa Kartini adalah perempuan dengan pemikiran hebat.

Saat Kartini meninggal, Jacques Henrij Abendanon lah yang menerbitkan surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabat penanya di Eropa. Kumpulan surat tersebut dirangkum menjadi sebuah buku bertajuk Door Duisternis tot Licht (1911), yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Dari Kegelapan Menuju Cahaya’ atau yang dikenal dengan ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Melalui buku tersebut, kita dapat melihat sumber utama terkait pemikiran dan perjuangan yang dilakukan oleh Kartini.

Dedikasinya dalam melawan ketidakadilan sosial dan budaya telah memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan pendidikan untuk semua.

Pada akhirnya, Kartini menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, yakni seorang Bupati Rembang, dan ketika suaminya mengetahui cita-cita Kartini terhadap pengembangan bangsa dan negara, beliau-pun mengizinkan pembangunan Sekolah Putri Rembang yang sekarang telah menjadi Gedung Pramuka.

Pada 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya dan saat berusia 25 tahun. Meskipun Kartini telah meninggalkan dunia pada usia yang masih muda, warisan dan perjuangannya untuk hak-hak perempuan di Indonesia terus dikenang dan dihargai hingga hari ini. Keberanian dan tekadnya dalam melawan ketidakadilan sosial, serta tekadnya untuk meningkatkan status dan kesempatan bagi perempuan telah menginspirasi tidak hanya masyarakat Indonesia namun juga orang-orang di seluruh dunia.

(Sekar Ayu Putri / HUMAS UNDIRA)

Press Contact :

Biro Humas & Sekretariat Universitas Dian Nusantara

humas@undira.ac.id

Facebook : www.facebook.com/undiraofficial
Instagram : www.instagram.com/undiraofficial
Twitter : www.twitter.com/undiraofficial

www.undira.ac.id

Lainnya

Kampus Tanjung Duren

Jln. Tanjung Duren Barat II No. 1

Grogol, Jakarta Barat. 11470

Kampus Green Ville

JIn. Mangga XIV No. 3

Kampus Cibubur

Jln. Rawa Dolar 65

Jatiranggon Kec. Jatisampurna, Bekasi. 17432